skip to main |
skip to sidebar
Penyimpangan Sosial
TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi masyarakat. Prilaku tawuran pelajar
bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda atau korban cedera tapi sudah
merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama sepuluh tahun terakhir.Beberapa
tahun lalu beberapa siswa dari sebuah sekolah swasta ditangkap polisi karena
membacok siswa SMK 5 Semarang. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah dan
dihukum penjara. Wali Kota Sukawi Sutarip mendukung bila sekolah mengeluarkan
siswa yang terlibat tawuran. Bahkan ia mengatakan, semua sekolah di Semarang tidak
boleh menerima siswa itu lagi. Akankah tindakan represif semacam itu akan
menyelesaikan masalah?
Maraknya tawuran
pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas
pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada
tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa
frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di
tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi
sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa
kehilangan harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada
bidang pendidikan.
Sekolah sebagai
“Pembunuh” Siswa
Beragam
“prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar
tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan
kualitas siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat
sumbangsih pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal
“investasi” yang diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum
berhasil menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya:
menciptakan masalah bagi masyarakat.
Salah satu
masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum yang dianggap terlalu berat
dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan
ditengarai pada dominannya pemerintah dalam penyusunan kurikulum. Di samping
itu, banyak pihak yang ingin memasukan “kepentingannya” dalam kurikulum
pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada pelajaran tentang koperasi, pengusaha
industri ingin ada pelajaran teknis kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran
tentang buruh. Akibatnya batok kepala siswa menjadi “keranjang sampah” bagi
beragam kepentingan.
Banyaknya bidang
kajian menjadikan substansi pengetahuan menjadi sedikit, tetapi terlalu montok.
Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah
sumpeg, metode pembelajarannya pun represif. Modus pembelajaran yang monolog
oleh guru terasa benar miskin makna. Yang dimaksud cerdas oleh guru adalah
besarnya daya ingat siswa terhadap segudang informasi, seperti halnya
ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga
terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya
harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam
pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya
jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang
mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah
raga atau musik, misalnya.
Akibat kurikulum
yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressorbaru” sebagai siswa.
Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan
keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya,
siswa ke sekolah tidak enjoytetapi malah stress. Siswa tidak menganggap
sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau
bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan kongkow-kongkow di
jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang
akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas
penyakit jantung.
Siswa bukan
hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat dan
potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam bidang
olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk” belajar
fisika dan matematika.
Seorang kawan
secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang
bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan
siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang
bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan
rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana
mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”,
pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para
penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola
pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya
daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta
petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak
mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat
lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Sekolah yang
Menyenangkan
Saat ini mulai
berkembang paradigma baru tentang “pendidikan yang menyenangkanE2��, seperti model quantum learning. Dalam quantum
learning pelajaran sekolah tidak menjadi beban bagi siswa. Pendidikan
disesuaikan dengan ranah berpikir siswa. Jadi bukannya siswa yang “dipaksa”
mengikuti pelajaran sesuai kemauan guru, termasuk dalam hal penilaian
benar-salah. Guru yang harus “masuk” ke dalam ranah berpikir siswa, menyelami
apa pemikiran, kehendak, dan jiwa siswa. Dalam quantum learning, guru
tidak bisa dengan otoriter memaksakan pendapatnya paling benar. Tetapi siswa
dilibatkan untuk mengkaji kebenaran nilai-nilai itu dan perbedaan pendapat
tidak dilarang. Selama ini kan tidak. Aturan yang dibuat sekolah bernilai
mutlak. Siswa tidak punya kewajiban lain selain patuh. Kalau tidak patuh maka
dianggap “melanggar peraturan” sehingga wajib diberi sanksi. Tidak ada hak bagi
siswa untuk mengemukakan pendapat bahwa setiap aturan mesti tergantung pada
konteksnya, termasuk konteks pemikiran siswa. Akibatnya, siswa patuh karena
“pura-pura”.
Selain quantum
learning, dipelopori David Golemen, para pemerhati pendidikan di Barat mulai
menyadari bahwa kecerdasan emosional (EQ) tidak kalah penting dibanding
kecerdasan intelektual (IQ). Bahkan menurut penelitian David Goleman, siswa
yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, setelah dewasa justru lebih banyak
yang “berhasil” dibanding siswa yang memiliki IQ tinggi. Paradigma baru ini
hendaknya juga mulai diadopsi di Indonesia.
Kecerdasan
emosional siswa meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan
hubungan sosial dengan manusia lain. Beberapa tolok ukurnya adalah: memiliki
pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa
melobi, dan bisa mempengaruhi manusia lain.
Siswa yang
kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki “beragam alternatif bahasa” untuk
berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang
yang “dianggap musuh”. Sebaliknya, siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah
hanya memiliki satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga
tidak bisa “membedakan” musuh. Tolok ukur seseorang dianggap “kawan” atau
“musuh” adalah seragamnya. Siapapun dia, asalnya darimana, kalau memakai
seragam sekolah “lawan” harus dimusuhi.
Seragam sekolah
menjadi sumber masalah. Meski tujuannya baik yakni untuk melatih kedisplinan,
tetapi juga membawa dampak negatif. Seragam sekolah menumbuhkan identitas
kelompok yang memicu tawuran. Lagipula, penyeragaman seragam sekolah juga tidak
bermanfaat. Malahan, rok siswi yang kadang terlalu mini juga mengundang masalah
sendiri bagi siswa laki-laki.Sebaiknya siswa tidak diwajibkan mengenakan
seragam.
Itulah beberapa
tawaran untuk mengurangi tawuran pelajar. Kalau usaha tersebut telah
diikhtiarkan tetapi tawuran pelajar makin menggejala, artinya kita perlu
berikhtiar lebih keras lagi. Justru itulah makna hakikat pendidikan: terus
berusaha dan tak kenal menyerah.
No comments:
Post a Comment